kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jangan Sampai Indonesia Jadi Negara Tujuan Sampah Plastik Negara Lain


Senin, 24 Juni 2019 / 16:49 WIB
Jangan Sampai Indonesia Jadi Negara Tujuan Sampah Plastik Negara Lain

Sumber: Commercial Content | Editor: Indah Sulistyorini

Jakarta - Persoalan sampah plastik saat ini menjadi perhatian semua pihak.  Salah satu persolan yang kini disorot, masih tingginya impor sampah plastik.  Isu perdagangan sampah plastik pun sudah menjadi perhatian global. Sebanyak 187 negara, termasuk Indonesia, menyepakati pengetatan perdagangan sampah plastik melalui amendemen Konvensi Basel.

Melalui amendemen tersebut, eksportir limbah plastik harus mendapatkan persetujuan dari negara tujuan sebelum mengirim sampahnya. Konsekuensi amendemen konvensi ini, seluruh negara PBB harus menangani sampahnya sendiri. Ini menguatkan Indonesia yang tengah gencar menangani sampah. 

Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mencatat, akibat kebijakan China menghentikan impor sampah plastik dari sejumlah negara di Eropa dan Amerika, sampah plastik beralih tujuan ke negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia.   

Karena itu, sikap tegas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan reekspor lima kontainer scrap kertas bekas yang berisi limbah pada Minggu (16/6) sudah tepat.  Dalam pemeriksaan lima kontainer tersebut, ditemukan impuritas atau limbah lainnya, atau sampah, antara lain sepatu, kayu, pampers, kain, kemasan makanan minuman dan sejumlah keran plastik dalam jumlah yang cukup besar.

Pelaksanaan reekspor limbah ilegal sesuai dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada Senin (10/6) di mana Indonesia akan melakukan reekspor sampah plastik yang masuk secara ilegal. Untuk diketahui, pada 2015-2016, Indonesia juga sempat melakukan reekspor puluhan kontainer.
Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) Christine Halim menyampaikan,  daripada menggunakan limbah impor untuk kebutuhan industri, lebih baik Indonesia mengembangkan sistem untuk meningkatkan jumlah daur ulang sampah dalam negeri.  Untuk diketahui, di negara-negara maju, recycling rate diatas 60 persen karena menggunakan teknologi.   

“Presiden Jokowi harus segera mengeluarkan Perpres untuk memerintahkan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk melaksanakan dengan tegas UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, khususnya Pasal 13, 44 dan 45,” tegas Christine, saat dihubungi, Kamis (20/6/2019).

Pasal 13 dan 45 UUPS adalah kewajiban pengelola kawasan untuk mengelola dan mengolah sampahnya di sumber timbulannya. Sementara Pasal 44 UUPS adalah pembangunan Control Landfill untuk kota kecil/sedang dan Sanitary Landfill untuk kota besar, metropolitan dan megapolitan (Permen PU No. 3 Tahun 2013).

Pasal 44 merupakan kesiapan TPA dalam menerima residu dari sisa yang tidak bisa dikelola di kawasan (Pasal 13 dan 45). Sekitar 20-30% berpotensi terjadi residu untuk dibawa ke landfill. Pasal 44 dan 45 UUPS wajib dilaksanajan oleh pemerintah sejak tahun 2009, sebagaimana amanat dalam UUPS tersebut.

Kata Christine, darurat sampah dan carut marut sampah plastik disebabkan oleh tidak dijalankannya pasal-pasal tersebut. Pasal tersebut merupakan kunci pelaksanaan circular economy yang menjadi basic daur ulang sampah, khususnya sampah plastik.

Kalau pemerintah dan pemda fokus melaksanakan pasal-pasal tersebut, kata Chistine, bukan hanya menyelesaikan sampah plastik yang bisa di daur ulang. Tapi juga akan turut serta terselesaikan sampah organik yang mendominasi sampah Indonesia.  

Kata dia, sampah organik ini bila dikelola dengan baik di sumbernya, akan mendukung ketersediaan pupuk organik dan energi terbarukan demi keberhasilan atau pencapaian ketahanan pangan dan energi nasional.

Komitmen Sinergi

Ahmad Nuzuluddin, business development director Indonesian Plastic Recylers menambahkan, di negara-negara maju, recycling rate diatas 60 persen karena menggunakan teknologi.   
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berkomitmen untuk memperketat impor bahan baku daur ulang industri agar sampah yang diimpor tidak menimbulkan masalah baru di dalam negeri.  Misal, nantinya, scrap plastik yang diimpor harus bersih dan tidak terkontaminasi atau bercampur dengan sampah dan limbah lainnya. Yang diimpor juga tidak berasal dari kegiatan landfill sehingga bukan merupakan 'sampah' dalam arti tidak bisa diolah kembali.

Selanjutnya, tidak ada penambahan importir baru limbah plastik serta pembatasan kuota impor bagi yang sudah beroperasi sampai 5 tahun ke depan. Kemudian, yang diimpor juga minimal berupa pellet/chips. Produk hasil daur ulang yang dihasilkan harus produk jadi, bukan berupa kantong plastik.

Ahmad Nuzuluddin menyampaikan,  persoalan sampah plastik di Indonesia menjadi masalah serius sehingga perlu ada upaya bersama melakukan pengurangan penggunaan plastik agar lingkungan tetap terjaga.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jendral Asosiasi lndustri Olefin, Aromatik dan Plastik lndonesia (INAPLAS) Fajar Budiyono mengemukakan, saat ini, industri pengolahan daur ulang sedang tumbuh. Sementara, dari sisi pasokan bahan minim.

Ini terjadi karena belum adanya mekanisme sistem penyortiran sampah, dari hulu ke hilir. Memilah sampah kering, basah, dan kategori sampah bahaya. Semua masih tercampur aduk.

Sementara industri daur ulang butuh bahan baku plastik secara berkelanjutan. Karena itu, jika kebijakan impor sampah plastik terus dipertahankan, maka indonesia bakal jadi pengimpor sampah plastik terbesar di dunia.  Kata dia, jika impor dipertahankan, akan mengurangi minat industri daur ulang lokal menggunakan sampah plastik lokal yang akan berdampak menambah jumlah sampah yang tidak terkelola.  

"Baiknya pemerintah mempelajari kembali bahaya impor limbah sampah plastik. UU pengelolaan sampah pasal 28 No 18/2018 sudah sangat jelas setiap orang dilarang mengimpor sampah,” ujar Fajar.

Inaplas terbuka jika ada komunitas yang ingin berkolaborasi mengelola sampah. Apalagi Inaplas memiliki program Management Sampah Zero (Masaro) yang terbukti berhasil mengubah sampah menjadi produk bernilai. Seperti bahan daur ulang, bahan bakar minyak, penguat aspal berbahan dasar plastik, pupuk, hingga media tanam.

O, iya, dalam program Masaro, masyarakat diajak memilah sampah langsung di sumber, pengolahan sampah di dekat sumber, pelibatan pemerintah, dan industri.  Inaplas selalu mengedukasi masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah sejak awal dan tidak menumpuk sampah. 



Jepang bisa dicontoh. Di sana, diharuskan membuka plastik merek botol dan tutup botol sebelum membuang botol kosong ke tempat sampah.  Di  restoran fast food, diharuskan membersihkan makanan dengan membagi-bagi kertas, tempat minum, tutup tempat minum dan sedotan di tempat-tempat terpisah.  Tak heran, limbah sampah untuk bahan recycling selalu tersedia. Menurut Fajar, plastik akan tetap digunakan dan tidak berkurang penggunaannya sebagai bagian dari kebutuhan sehari-hari.

“Karena recycling butuh sampah plastik yang bisa didaur ulang, di Indonesia masih sulit didapat, karena tidak ada pemisahan sampah sejak awal,” ucap Fajar. 

Kata dia, inti permasalahan sampah di Indonesia adalah masih belum adanya tata kelola sampah yang terstruktur juga lemahnya pemahaman soal pengelolaan sampah yang utuh. 

Tak heran, lahir berbagai kebijakan praktis yang tidak tepat sasaran dan membebani pelaku industri.  Padahal, plastik kemasan bekas pakai, jika dikelola masih dapat digunakan kembali menjadi produk lainnya, kemudian setelah dipakai dapat didaur ulang.

“Pemerintah bisa menggandeng swasta untuk fokus dalam pengelolaan sampah dalam negeri mulai dari pemilahan sampah sejak awal di tingkat rumah tangga sehingga dapat menaikkan tingkat daur ulang plastik dan tidak berakhir di TPA dan lingkungan menjadi lebih bersih,” tegas Fajar .

Saatnya bersinergi mengelola sampah plastik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×