kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Memahami Perdebatan Utang Indonesia dengan Akuntansi Dasar


Senin, 22 April 2019 / 14:19 WIB
Memahami Perdebatan Utang Indonesia dengan Akuntansi Dasar

Reporter: Sponsored | Editor: Evelyne Lee

Debat kelima dan terakhir pemilihan presiden (pilpres) 2019 yang akan diselenggarakan tanggal 13 April yang akan datang dijadwalkan akan membahas masalah perekonomian dan keuangan. Kita bisa menduga bahwa kedua calon presiden, baik petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan pesaingnya, Prabowo Subianto, akan membicarakan masalah utang negara pada debat tersebut. Seperti kita ketahui bersama, topik ini merupakan salah satu isu yang sering dibahas dari kedua kubu. Kubu Prabowo selama ini mengritik pembengkakan utang negara di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Pihak oposisi menganggap petahana tidak dapat mengelola sektor ekonomi dengan baik. Namun pemerintahan Jokowi membela kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani berargumen bahwa jumlah utang masih pada level yang diizinkan undang-undang. Sebagai dosen dan peneliti akuntansi dan keuangan, saya ingin menggunakan prinsip akuntansi dasar dan teori keuangan untuk menunjukkan bahwa utang, tidaklah seburuk yang kita duga.

Perdebatan utang negara

Selama sepuluh tahun terakhir utang Indonesia memang terus meningkat. Namun, pada beberapa tahun terakhir, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) bertahan pada kisaran 30%. Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, angka ini relatif amanUndang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa Indonesia boleh meminjam selama tidak melebihi batas maksimal 60% dari PDB.

Rasio utang terhadap PDB Indonesia pada tahun 2018 bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Thailand (41.8%), Malaysia (50.9%) dan Vietnam (61.5%). Namun, kubu Prabowo telah berulang kali menyerang Jokowi karena telah dianggap membuat bangsa ini banyak berutang demi melaksanakan proyek infrastruktur. Mereka menilai keputusan Jokowi ini terlalu terburu-buru. Mereka menyatakan bahwa utang-utang ini akan membebani generasi masa depan. Namun menurut saya, janganlah kita juga terburu-buru menyimpulkan sesuatu yang kita tidak terlalu pahami.

Memahami Utang

Dalam akuntansi, berutang adalah suatu cara untuk menambah aset. Aset yang dimiliki suatu perusahaan untuk menjalankan operasional mereka adalah sama dengan jumlah liabilitas dan ekuitas. Ekuitas adalah hak milik terhadap modal perusahaan.

Jika sebuah perusahaan ingin menambah asetnya, maka hal ini dapat diperoleh melalui penjualan modal perusahaan (ekuitas) atau meminjam dari kreditor (utang/liabilitas). Bayangkan Anda membutuhkan uang kas untuk membeli sebuah kendaraan (sebuah aset) untuk kegiatan operasional. Anda akan dihadapi dengan dua pilihan: Pilihan pertama: pergi ke bank dan pinjam uang. Ini tentu saja menciptakan utang. Pilihan kedua: jika ini merupakan perusahaan kecil milik Anda pribadi, Anda bisa merogoh kocek Anda sendiri untuk membeli kendaraan tersebut. Atau, dalam konteks perseroan terbatas, perusahaan tersebut dapat menjual sahamnya. Dari pilihan pertama, kita dapat mengetahui bahwa ada sisi lain dari utang demi mendapatkan aset lebih banyak.

Teori Pecking Order

Pada tahun 1984, ahli Ekonomi Stewart Myers and Nicolas Majluf memperkenalkan teori Pecking Order untuk keuangan korporat. Teori ini menyarankan perusahaan untuk menggunakan dana internal untuk memeroleh asetnya. Namun, dana internal ini jumlahnya terbatas. Perusahaan tidak memiliki pilihan kecuali untuk melakukan pendanaan eksternal. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu entah dengan berutang atau menjual ekuitas perusahaan dalam bentuk saham. Teori Pecking Order menyarankan perusahaan untuk berutang ketimbang menjual saham. Alasannya adalah sebagai berikut: Pertama, berutang lebih menguntungkan karena akan mengurangi beban pajak perusahaan. Mengapa demikian? Berutang akan menimbulkan beban bunga yang akan mengurangi laba bersih perusahaan. Sehingga, beban pajak juga akan berkurang. Di sisi lain, menjual saham kepada masyarakat atau pemilik baru berarti memberikan kendali perusahaan ke pihak lain. Selain itu penjualan saham juga menimbulkan biaya. Jika utang menimbulkan bunga, penjualan saham akan menuntut perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemilik saham yang lain. Dividen adalah porsi laba perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham.

Dalam konteks Indonesia

Teori Pecking Order menjelaskan sisi positif utang dari segi perusahaan. Tapi kita harus ingat bahwa Indonesia bukan sebuah perusahaan yang tujuan utamanya adalah memaksimalkan laba. Tujuan utama pemerintah adalah melindungi, melayani, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berutang dapat dibenarkan selama hasilnya dialokasikan pada sektor-sektor yang akan menguntungkan masyarakat, seperti infrakstruktur, kesehatan, dan pendidikan. Misalnya, Indonesia perlu banyak sumber dana untuk membiayai proyek-proyek infrastrukturnya. Rakyat Indonesia sangat membutuhkan pemerintah untuk memulai dan menyelesaikan proyek-proyek ini guna memastikan negaranya tumbuh dan berkembang secara merata. Ekonomi terbersar dunia, yaitu Amerika Serikat, juga memiliki utang terbesar di dunia.. Maka dari itu, utang, tidaklah terlalu buruk.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

×