kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengukur Dampak Pembangunan Infrastruktur


Senin, 26 Agustus 2019 / 16:00 WIB
Mengukur Dampak Pembangunan Infrastruktur
ILUSTRASI. Jalan tol Trans Jawa

Reporter: Sponsored | Editor: Indah Sulistyorini

Baru-baru ini Pemerintah menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam RPJMN tersebut, 'Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar' menjadi salah satu agenda. Meski pemerintah sudah gencar melakukan pembangunan infrastruktur pada lima tahun terakhir, beberapa proyek yang sudah dicanangkan sebelumnya masih dalam tahap rencana.

Sampai saat ini, beberapa ruas jalan tol sudah selesai dan dimanfaatkan seperti  jalan tol Trans Jawa dan Jalan Tol Palembang-Terbanggi. Semakin pendeknya jarak tempuh antar kota yang dilalui jalan tol tersebut diharapkan akan semakin menggairahkan investor untuk melakukan ekspansi bisnis. Dalam jangka menengah diharapkan urbanisasi ke kota-kota besar dapat ditekan. Berdasarkan penjelasan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu, sudah banyak investor yang akan masuk dan diharapkan membuka banyak lapangan kerja di kota-kota sepanjang jalur Tol Trans Jawa.

Selain untuk mengembangkan sektor ekonomi di bidang Industri, Pembangunan infrastruktur pun sangat dibutuhkan untuk menunjang sektor pariwisata di Indonesia sementara industri ini sangat menggeliat. Wisata di Kabupaten Majalengka misalnya yang sudah menggeliat dengan adanya Bandara Kertajati dan Tol Cipali. Di Kabupaten Karanganyar misalnya banyak obyek wisata dapat diakses lebih mudah sejak adanya Tol Trans Jawa seperti beberapa obyek wisata di Karanganyar baik wisata alam maupun wisata historis/edukasi. Pada lebaran 2019 wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Karanganyar sekitar 126.318 orang.

Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2019, Logistic Performance Indeks (LPI) tahun 2018 menunjukkan kinerja logistik Indonesia mendapat ranking 46 dari 160 negara. Infrastruktur merupakan salah satu indikator penilaian LPI. Ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan data LPI tahun 2016, saat itu Indonesia masih berada di peringkat 63 jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Sementara itu berdasarkan data dari Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia, biaya logistik Indonesia turun dari 25% dari PDB pada tahun 2015 menjadi 21% dari PDB pada tahun 2019. Berdasarkan Global Competitiveness Report (2017 – 2018) yang dilansir oleh World Economic Forum, kualitas infrastruktur Indonesia menempat ranking ke 52 dari 137 negara.

Untuk mengejar daya saing Indonesia, mau tidak mau pembangunan infrastruktur harus dilanjutkan, bahkan dipercepat. Hambatan utama yang selama ini merongrong adalah soal kebutuhan dana dan pembebasan lahan. Pembangunan infrastruktur pada APBN 2019 sendiri Rp415 triliun yang yang diantaranya dijalankan oleh Kementerian PUPR (Rp108,2 triliun), Kementerian Perhubungan (Rp38,1 triliun), Dana Alokasi Khusus (Rp33,5 triliun) dan Penyertaan Modal Negara serta pembiayaan melalui Lembaga Manajemen Aset Negara (39,8 triliun). Di luar itu, pembangunan infrastruktur melalui Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dan Pembiayaan Infrastruktur Non Anggaran Pemerintah. Sampai 2018 terdapat 57 proyek infrastruktur menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) seperti Palapa Ring, Sarana Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan Jawa Timur, beberapa ruas jalan tol dan rumah sakit.

Jika kita merunut pada sejarah, masalah klasik seperti pembebasan lahan dan proses lelang menjadi penyebab utama beberapa proyek infrastruktur mangkrak sampai pertengahan 2015.  Saat itu sebenarnya Pemerintah sudah mewacanakan pembentukan  suatu badan yang memiliki fungsi sebagai land funder. Badan ini  berbentuk Badan Layanan Umum dan bertugas  mendanai proses pengadaan lahan yang cukup rumit dan sangat tidak fleksibel jika menggunakan mekanisme pelaksaan APBN biasa. Seiring berjalannya waktu, akhirnya 2017, Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), sebuah Badan Layanan Umum (BLU) yang awalnya hanya memiliki fungsi optimasi aset negara akhirnya mendapatkan penugasan tambahan sebagai land funder sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2016 tentang Pendanaan Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang kemudian dipekuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54 tahun 2017.

Per 5 Juli 2019, LMAN telah mencairkan Rp34,73 triliun atau 92,% dari yang telah ditagihkan atau sebesar Rp37,4 triliun untuk pengadaan lahan proyek strategis nasional (PSN). Proses pencairan dana tersebut membutuhkan beberapa tahapan. Tahapan yang paling banyak memakan waktu adalah verifikasi dokumen. Hal ini membutuhkan bantuan dari para Pejabat Pembuat Komitmen sebelum mengajukan pembayaran ke LMAN agar melakukan pre verifikasi seperti sertifikat hak atas tanah, kwitansi pembayaran, surat pelapasan hak, dan berkas lain yang dibutuhkan dan perlu. Selain itu, beberapa tanah dengan karakteristik khusus seperti tanah adat memerlukan waktu verifikasi lebih lama. Pemerintah tidak ingin ada masalah di kemudian hari seperti gugatan pemilik lahan atau permasalahan hukum lain karena tidak tertib administrasi. Untuk menjamin check and balance, LMAN tepat sudah menggandeng proses Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk veriifakasi dokumen.

Dalam rilisnya pada awal Juli ini, LMAN menyatakan akan membayar tidak hanya pokok pembiayaan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), tapi juga seluruh cost of fund seperti biaya administrasi dan bunganya. Dengan demikian, BUJT tidak perlu sampai berdarah-darah tergerus marjin labanya karena LMAN. Dengan demikian, BUJT sepertinya tidak perlu khawatir karena proses pembayaran tetap berjalan. Lebih lanjut, saat ini telah terbit Peraturan Menteri Keuangan No.100 tahun 2019 yang memberikan keleluasaan bagi LMAN untuk membayar kebutuhan tambahan dana dalam pembelian lahan proyek strategis nasional meski belum dialokasikan pada APBN tahun berjalan.

BPKP pun saat ini sudah bekerja sangat baik menjalankan perannya sebagai verifikator. Meski demikian meski LMAN yang dibantu BPKP sudah melakukan usaha terbaik kiranya ada upaya dari para pemangku kepentingan lain agar proses pembayaran menjadi lebih cepat seperti pelatihan bagi PPK dan tim keuangannya dalam pemberkasan dokumen. Selain itu, untuk mempermudah proses dapat ditunjang dengan sistem informasi pengadaan lahan yang reliable agar prosesnya semakin efisien.

Siko Dian Sigit Wiyanto
Wakil Ketua I Ikatan Pranata Humas
Pranata Humas Ahli Pertama Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

×