kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pembangunan SDM: Kembalikan Kesetaraan Jender


Jumat, 26 April 2019 / 11:11 WIB
Pembangunan SDM: Kembalikan Kesetaraan Jender

Reporter: Sponsored | Editor: cecilia valencia

Hingar bingar pemilu yang dilaksananakan pada tanggal 17 April 2019 seolah menenggelamkan perayaan nasional lain yang biasa kita rayakan setiap tanggal 21 April, yaitu Hari Kartini. Ditambah lagi tanggal tersebut jatuh di hari Minggu, maka lengkaplah Hari Kartini makin sedikit mendapat perhatian, padahal kesetaraan jender masih menjadi masalah sosial yang perlu diperjuangkan. Berasumsi bahwa hasil perhitungan real count KPU tidak akan jauh berbeda dengan quick count, maka kita menunggu presiden terpilih akan merealisasi janji meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Saya memfokuskan SDM perempuan karena sebetulnya kesetaraan jender pernah dinikmati saudara-saudara perempuan kita di masa lampau jauh sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara.

Merujuk pada disertasi Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV tampak jelas bahwa perempuan di era Jawa kuno telah mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki, baik di ranah domestik maupun publik, termasuk hukum dan politik. Titi menegaskan tidak selalu setara, tapi perempuan bisa menjadi pemimpin pemerintahan dimana jabatan tertinggi di desa pada abad ke VIII-IX misalnya, tidak berdasar pada keturunan seperti pada kerajaan, melainkan ditunjuk oleh masyarakat. (https://historia.id/kuno/articles/peran-perempuan-jawa-kuno-PdjE9). Perempuan juga bisa menjadi raja atau kepala pemerintahan. Beberapa catatan menunjukkan sejumlah perempuan telah menjadi kepala pemerintahan. Salah satunya putri Mpu Sindok yang bernama Isanatunggawijaya pernah memerintah di masa Mataram Kuno pada abad ke X. (https://historia.id/kuno/articles/perempuan-penguasa-masa-mataram-kuno-PyJzZ).

Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa setelah agama Islam masuk ke perairan Nusantara sampai terjadinya perang Jawa (perang Diponegoro), perempuan tetap mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Titi menyebutkan adanya sejumlah sultanah atau raja perempuan yang bertahta di “serambi Mekah,” yaitu Aceh. Di tanah Minang yang sangat Islami bahkan menempatkan perempuan sebagai garis keturunan (matrilineal). Sejarawan Indonesia Peter Carey dalam bukunya Perempuan-perempuan perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX menyebut sejumlah perempuan perkasa di Jawa dalam berbagai peran pentingnya, baik domestik (mis. Ratu Ageng mendapatkan tugas pengasuhan P. Diponegoro) maupun politik. (mis. R.A, Ayu Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang). Perempuan di masa itu juga sudah terlibat dalam militer, dimana pada awal berdirinya praja Mangkunegaran, ada Korps Prajurit Estri Mangkunegara yang sangat terlatih dan membuat decak kagum pejabat VOC, dipaparkan oleh Iwan Santosa dalam bukunya Legiun Mangkunegaran (1808-1942).

Dari apa yang dipaparkan di atas, tampak bahwa sebetulnya budaya-budaya di Nusantara, dalam contoh di atas adalah Jawa, memberi kesempatan perempuan untuk melakukan hal yang sama dengan laki-laki. Peter Carey dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa kolonialisme yang terjadi setelah perang Jawa menghancurkan kesetaraan jender . Kedigdayaan Ratu Ageng atau Nyai Ageng Serang tidak ditemukan lagi karena perempuan mulai dipingit dan hanya berada di ranah domestik sebagaimana yang dilakoni oleh R.A. Kartini dan saudara-saudara perempuannya. Oleh sebab itu, bisa disimpulkan sebetulnya kolonialisme merupakan awal segregasi antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dianggap sebagai koco wingking sehingga kehilangan kesempatan untuk berkembang secara optimal seperti yang dinikmati rekannya laki-laki.

Politik etis yang dicanangkan di Eropa pada awal tahun 1900an memberi kesempatan pada perempuan Hindia Belanda (sekarang bernama Indonesia) untuk terlibat dalam organisasi perempuan. Namun dalam pendidikan, kesempatan perempuan belum terbuka sepenuhnya. Hal ini tidak bisa terlepas dari budaya pendidikan Barat yang juga belum memberi kesempatan yang sama pada perempuan untuk meraih pendidikan tinggi, khususnya di bidang kedokteran. Kisah Marie Thomas, dokter perempuan pertama lulusan STOVIA, tidak terlepas dari pengaruh Aletta Jacobs, dokter perempuan pertama di Belanda yang berkunjung ke Batavia tahun 1912 dan mendorong diterimanya pelajar perempuan di STOVIA (https://historia.id/ragam/articles/dokter-perempuan-pertama-indonesia-6l71E). Organisasi perempuan berkembang bersamaan dengan munculnya berbagai organisasi pemuda.

Kongres Perempuan Indonesia pertama diselenggarakan dua bulan berselang setelah Kongres Pemuda ke-2 yang menghasilkan “Sumpah Pemuda” yaitu pada 22 -25 Desember 1928. Hal yang menarik, atau lebih tepatnya memprihatinkan, adalah kenyataan bahw sejumlah topik yang dipresentasikan oleh para tokoh perempuan masa itu masih harus diperjuangkan sampai masa kini. Beberapa diantaranya adalah perkawinan anak-anak, persamaan derajat perempuan, kewajiban perempuan dalam rumah tangga, perkawinan dan perceraian (https://id.wikipedia.org/wiki/Kongres_Perempuan_Indonesia). Begitu istimewanya kongres perempuan ini sehingga pada tahun 1953 Presiden Sukarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu yang pemaknaannya saat ini cenderung direduksi pada peran domestik perempuan agar bisa merayakannya seperti rekan-rekan kita di Amerika merayakan “Mother’s Day.” 

Meskipun Indonesia telah merdeka, rupanya perjuangan kesetaraan jender masih harus dilakukan sampai saat ini. Salah satu upaya pemerintah adalah membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 1983. Selain itu juga meningkatkan suara perempuan di dengan adanya kebijakan afirmasi dengan memberi kuota 30% pada perempuan untuk duduk di DPR dan DPRD.  Yang perlu dipertanyakan adalah, sejauhmana outcomes telah dihasilkan oleh kementerian dan para peremuan yang duduk di bada legislatif. Semoga target pembangunan SDM tahun-tahun mendatang akan sensitif pada jender, sehingga perempuan Indonesia menikmati kembalinya kesetaraan jender di segala bidang sebagaimana yang pernah dinikmati di masa lalu.

Eunike Sri Tyas Suci

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

×